ABSTRAK
PELAKSANAAN PEMBINAAN NARAPIDANA TERORISME
MELALUI UPAYA DERADIKALISASI
(Studi Pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung)
Oleh
IKHVAN BARZAH
Terorisme termasuk suatu tindak kejahatan berbahaya dan masuk kedalam kategori kejahatan luar biasa. Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara, karena terorisme merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat. Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana kejahatan serius yang penanganan dan penanggulangannya membutuhkan metode pembinaan khusus. Lembaga Pemasyarakatan Super Maksimum Security merupakan Unit Pelaksana Teknis baru di jajaran Pemasyarakatan, yang berfungsi khusus membina narapidana Teroris atau Narapidana Resiko Tinggi (high risk) lainnya.
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research) yaitu mengangkat data secara langsung dan menjelaskan hal-hal yang terjadi di lapangan
selama pembinaan terhadap narapidana terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Bandar Lampung dengan pendekatan penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data berupa observasi secara langsung di Lapas Kelas I Bandar Lampung dan wawancara dengan petugas di Lapas terkait pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana terorisme serta beberapa WBP di Lapas. Pendekatan di dalam penelitian in adalah pendekatan yuridis sosiologis, yakni dengan menjawab rumusan masalah melalui penelitian lapangan. Teori yang digunakan adalah teori tindak pidana terorisme dan teori pembinaan.
Hasil dari penelitian terkait Pembinaan Narapidana Terorisme di Lapas Kelas I Bandar Lampung menyatakan bahwa belum optimalnya pelaksanaan pembinaan terhadap narapidana khusus Terorisme. Hal tersebut terjadi karena beberapa kendala diantaranya: a) Karakteristik narapidana terorisme yang tertutup dan pemahaman yang masih sangat radikal, b) Kurangnya kesadaran diri narapidana Terorisme untuk berubah, c) Tidak adanya tokoh yang didolakan, d) Tingkat keilmuan agama narapidana terorisme yang berbeda-beda, d) Keluarga Narapidana
yang kurang Kooperatif, e) SDM Petugas yang berkompeten untuk menangani napiter.