Undang-undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika bertujuan mencari titik keseimbangan antara pendekatan kesehatan masyarakat dan pelaksanaan pidana dalam mengatasi tindak pidana narkotika. Namun banyak kasus yang disangkakan pasal 127 Undang-undang Narkotika tidak dilakukan asesmen terpadu. Penelitian ini memiliki rumusan masalah bagaimana Pelaksanaan Asesmen Terpadu pada Proses Penanganan Perkara Tindak Pidana Narkotika, apa saja faktor penghambatan dan pendukung dalam pelaksanan asesmen terpadu dan bagaimana urgensi pelaksanaan asesmen terpadu pada proses penanganan perkara tindak pidana narkotika
Pendekatan masalah yang digunakan dalam skripsi ini adalah Pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Data primer diperoleh dari hasil penelitian dilapangan secara langsung pada obyek penelitian yang dilakukan di Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Lampung, Polresta Bandar Lampung dan Kejaksaan Negeri Bandar Lampung. Data sekunder diperoleh dengan cara studi kepustakaan (library research) dengan cara membaca, mengutip, dan menelaah berbagai kepustakaan yang berkaitan dengan masalah-masalah yang diteliti.
Berdasarkan analisis data yang dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa, proses asesmen terpadu dilakukan berjenjang. Untuk perkara narkotika yang memenuhi syarat yang diatur dalam Surat Telegram Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: STR/701/VIII/2014 tanggal 22 Agustus 2014, setelah itu penyidik melakukan permohonan atau permintaan untuk dilakukan asesmen terpadu terhadap korban atau penyalah guna narkotika. Untuk selanjutnya dengan berpedoman pada pasal 14 Peraturan Kepala Badan narkotika Nasional Nomor 11 tahun 2014 tentang Tata Cara Penanganan Tersangka dan/atau Terdakwa Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi, kemudian Badan Narkotika Nasional memiliki kewenangan untuk menerima atau menolak permohonan asesmen terpadu yang di usulkan oleh penyidik. Hambatan dalam pelaksanaan asesmen terpadu adalah ketidakjelasan pada pengertian dan status antara pecandu, penyalahguna dan korban penyalahguna narkotika yang berakibat beda pemahaman antara aparat penegak hukum. Kecendrungan pasal yang digunakan, penyidik cendrung menyertakan pasal 114 dan pasal 112 Undang-undang Narkotika, penggunaan pasal ini membawa pengaruh yang signifikan terhadap hasil asesmen terpadu. Pandangan bahwa rehabititasi bersifat fakultatif(pilihan). Dari hasil penelitian baik penyidik, jaksa maupun tim asesor assessment terpadu menganggap bahwa pelaksanaan asesmen terpadu penting dilakukan.
©2024 Repository Saburai. All rights reserved